SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA SEMOGA DAPAT BERGUNA DAN DAPAT MENJADI SUMBER ASPIRASI PARA PEMBACA DAN SEMUANYA

Kamis, 27 September 2012


KEPEMIMPINAN DALAM KEPERAWATAN



Manajemen keperawatan pada dasarnya berfokus  pada perilaku manusia. Untuk mencapai tingkat tertinggi dari produktivitas pada pelayanan keperawatan, pasien membutuhkan manajer perawat yang terdidik dalam pengetahuan dan ketrampilan tentang perilaku manusia untuk mengelola perawat profesional serta pekerja keperawatan non profesional.
Mc. Gregor menyatakan bahwa setiap manusia merupakan kehidupan individu secara keseluruhan yang selalu mengadakan interaksi dengan dunia individu lainnya. Apa yang terjadi dengan orang tersebut merupakan akibat dari perilaku orang lain. Sikap dan emosi dari orang lain mempengaruhi orang tersebut. Bawahan sangat tergantung pada pimpinan dan berkeinginan untuk diperlakukan adil. Suatu hubungan akan berhasil apabila dikehendaki oleh kedua belah pihak.
Bawahan memerlukan rasa aman dan akan memperjuangkan untuk melindungi diri dari ancaman yang bersifat semu  atau yang benar - benar ancaman terhadap tidak terpenuhinya kebutuhan dalam situasi kerja.
Atasan / pimpinan menciptakan kondisi untuk mewujudkan kepemimpinan yang efektif dengan membentuk suasana yang dapat diterima oleh bawahan, sehingga bawahan tidak merasa terancam dan ketakutan.
Untuk dapat melakukan hal tersebut di atas, baik atasan maupun bawahan perlu memahami tentang pengelolaan kepemimpinan secara baik, yang pada akhirnya akan terbentuk motivasi dan sikap kepemimpinan yang profesional.

1.      Pengertian Kepemimpinan
Ada beberapa batasan tentang kepemimpinan , antara lain :
a.       Kepemimpinan adalah perpaduan berbagai perilaku yang dimiliki seseorang sehingga orang tersebut mempunyai kemampuan untuk mendorong orang lain bersedia dan dapat menyelesaikan tugas - tugas tertentu yang dipercayakan kepadanya  ( Ordway Tead ).
b.      Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas seseorang atau sekelompok orang untuk mau berbuat dan mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan ( Stogdill ).
c.       Kepemimpinan adalah hubungan yang tercipta dari adanya pengaruh yang dimiliki seseorang terhadap orang lain sehingga orang lain tersebut secara sukarela mau   dan bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan ( Georgy R. Terry ).
d.      Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas seseorang atau sekelompok  orang untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan dalam suatu situasi tertentu ( Paul Hersay, Ken Blanchard ).

Dapat dipahami dari empat batasan di atas bahwa kepemimpinan   akan     muncul apabila ada seseorang yang karena sifat - sifat dan perilakunya mempunyai kemampuan untuk mendorong orang lain untuk berpikir, bersikap, dan ataupun berbuat sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkannya. 
Kepemimpinan dalam konteks organisasi utamanya menekankan pada fungsi pengarahan yang meliputi memberitahu, menunjukkan, dan memotivasi bawahan. Fungsi manajemen ini sangat terkait dengan faktor manusia dalam suatu organisasi, yang mencakup interaksi antar manusia dan berfokus pada kemampuan seseorang dalam mempengaruhi orang lain.
Di dalam keperawatan kepemimpinan merupakan penggunaan ketrampilan seorang pemimpin ( perawat ) dalam mempengaruhi perawat - perawat lain yang berada di bawah pengawasannya untuk pembagian tugas dan tanggung jawab dalam memberikan pelayanan asuhan keperawatan sehingga tujuan keperawatan tercapai. Setiap perawat mempunyai potensi yang berbeda dalam kepemimpinan, namun ketrampilan ini dapat dipelajari sehingga selalu dapat diterapkan dan ditingkatkan.

2.      Teori Kepemimpinan
Ada beberapa yang pernah dikemukakan, antara lain :
a.       Teori orang besar atau teori bakat
Teori orang besar ( the great men theory ) atau teori bakat ( Trait theory ) ini adalah teori klasik dari kepemimpinan. Di sini disebutkan bahwa seorang pemimpin dilahirkan, artinya bakat - bakat tertentu yang diperlukan seseorang untuk menjadi pemimpin diperolehnya sejak lahir.
b.      Teori situasi
Bertolak belakang dengan teori bakat ialah teori situasi  ( situasional theory ). Teori ini muncul sebagai hasil pengamatan, dimana seseorang sekalipun bukan   keturunan pemimpin, ternyata dapat pula menjadi pemimpin yang baik. Hasil pengamatan tersebut menyimpulkan bahwa orang biasa yang jadi pemimpin tersebut adalah karena adanya situasi yang menguntungkan dirinya, sehingga ia memiliki kesempatan untuk muncul sebagai pemimpin.
      c.   Teori Ekologi
Sekalipun teori situasi kini banyak dianut, dan karena itu masalah kepemimpinan   banyak menjadi bahan studi, namun dalam kehidupan sehari - hari sering  ditemukan adanya seorang yang setelah berhasil dibentuk menjadi pemimpin, ternyata tidak memiliki kepemimpinan yang baik. Hasil pengamatan yang seperti ini melahirkan teori ekologi, yang menyebutkan bahwa seseorang memang dapat dibentuk untuk menjadi pemimpin, tetapi untuk menjadi pemimpin yang baik memang ada bakat - bakat tertentu yang terdapat pada diri seseorang yang diperoleh dari alam.

3.      Gaya Kepemimpinan
Telah disebutkan bahwa gaya kepemimpinan tersebut dipengaruhi oleh sifat dan perilaku yang dimiliki oleh pemimpin. Karena sifat dan perilaku antara seorang dengan orang lainnya tidak persis sama, maka gaya kepemimpinan ( leadership style ) yang diperlihatkanpun juga tidak sama. Bertitik tolak dari pendapat adanya hubungan antara gaya kepemimpinan dengan perilaku tersebut, maka dalam membicarakan gaya kepemimpinan yang untuk bidang administrasi sering dikaitkan dengan pola manajemen  ( pattern of management ), sering dikaitkan dengan pembicaraan tentang perilaku.
Tegantung dari sifat dan perilaku yang dihadapi dalam suatu organisasi dan atau yang dimiliki oleh pemimpin, maka gaya kepemimpinan yang diperlihatkan oleh seorang pemimpin dapat berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Berbagai gaya kepemimpinan tersebut jika disederhanakan dapat dibedakan atas empat macam,  yaitu :
a.       Gaya Kepemimpinan Diktator
Pada gaya kepemimpinan diktator  ( dictatorial leadership style ) ini upaya mencapai tujuan dilakukan dengan menimbulkan ketakutanserta ancaman hukuman. Tidak ada hubungan dengan bawahan, karena mereka dianggap hanya sebagai pelaksana dan pekerja saja.
b.      Gaya Kepemimpinan Autokratis
Pada gaya kepemimpinan ini ( autocratic leadership style ) segala keputusan berada di tangan pemimpin. Pendapat atau kritik dari bawahan tidak pernah dibenarkan. Pada dasarnya sifat yang dimiliki sama dengan gaya kepemimpinan dictator tetapi dalam bobot yang agak kurang.
c.       Gaya Kepemimpinan Demokratis
Pada gaya kepemimpinan demokratis ( democratic leadership style ) ditemukan peran serta bawahan dalam pengambilan keputusan yang dilakukan secara musyawarah. Hubungan dengan bawahan dibangun dengan baik. Segi positif dari gaya kepemimpinan ini mendatangkan keuntungan antara lain: keputusan serta tindakan yang lebih obyektif, tumbuhnya rasa ikut memiliki, serta terbinanya moral yang tinggi. Sedangkan kelemahannya : keputusan serta tindakan kadang - kadang lamban, rasa tanggung jawab kurang, serta keputusan yang dibuat terkadang bukan suatu keputusan yang terbaik.
d.      Gaya Kepemimpinan Santai
Pada gaya kepemimpinan santai ( laissez - faire leadership style ) ini peranan pimpinan hampir tidak terlihat karena segala keputusan diserahkan kepada bawahan, jadi setiap anggota organisasi dapat melakukan kegiatan masing - masing sesuai dengan kehendak masing - masing pula.
4.      Pemimpin yang efektif
Seorang    pemimpin    yang   efektif   adalah    seorang    pemimpin   yang dapat mempengaruhi orang lain agar dapat bekerja sama untuk mencapai hasil yang  memuaskan bagi terjadinya perubahan yang bermanfaat. Ada beberapa kepemimpinan yang efektif antara lain menurut :
a.       Ruth M. Trapper (1989 ), membagi menjadi 6 komponen :
1)      Menentukan tujuan yang jelas, cocok, dan bermakna bagi kelompok. Memilih  pengetahuan dan ketrampilan kepemimpinan dan dalam bidang profesinya.
2)      Memiliki kesadaran diri dan menggunakannya untuk memahami kebutuhan sendiri serta kebutuhan orang lain.
3)      Berkomunikasi dengan jelas dan efektif.
4)      Mengerahkan energi yang cukup untuk kegiatan kepemimpinan
5)      Mengambil tindakan
b.      Hellander ( 1974 )
Dikatakan efektif bila pengikutnya melihat pemimpin sebagai seorang yang bersama - sama mengidentifikasi tujuan dan menentukan alternatif kegiatan.
c.       Bennis ( Lancaster dan Lancaster, 1982 )
Mengidentifikasi empat kemampuan penting bagi seorang pemimpin, yaitu :
1)      Mempunyai pengetahuan yang luas dan kompleks tentang sistem manusia      ( hubungan antar manusia ).
2)      Menerapkan pengetahuan tentang pengembangan dan pembinaan bawahan.
3)      Mempunyai kemampuan hubungan antar manusia, terutama dalam mempengaruhi orang lain.
4)      Mempunyai sekelompok nilai dan kemampuan yang memungkinkan seseorang mengenal orang lain dengan baik.
d.      Gibson ( Lancaster dan Lancaster,1982 )
Seorang pemimpin harus mempertimbangkan :
1)      Kewaspadaan diri ( self awarness )
Kewaspadaan diri berarti menyadari bagaimana seorang pemimpin mempengaruhi orang lain. Kadang seorang pemimpin merasa ia sudah membantu orang lain, tetapi sebenarnya justru telah menghambatnya.
2)      Karakteristik kelompok
Seorang pemimpin harus memahami karakteristik kelompok meliputi : norma, nilai - nilai kemampuannya, pola komunikasi, tujuan, ekspresi dan keakraban kelompok.
3)      Karakteristik individu
Pemahaman tentang karakteristik individu juga sangat penting karena setiap individu unik dan masing - masing mempunyai kontribusi yang berbeda.

5.      Kepemimpinan dan kekuasaan
Menurut Gardner yang dikutip oleh Russel ( 2000 ) mendefinisikan kekuasaan sebagai suatu kapasitas uuntuk memastikan hasil dari suatu keinginan dan untuk menghambat mereka yang tidak mempunyai keinginan.

Dasar - dasar kekuasaan
Franch dan Raven mengemukakan lima dasar kekuasaan interpersonal, yaitu :
a.       Kekuasaan legitimasi
Kekuasaan yang sah adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi sehubungan dengan posisinya. Kekuasaan legitimasi tidak tergantung kepada bawahan. Seseorang dengan posisi yang lebih tinggi dalam organisasi mempunyai kekuasaan pada orang - orang yang di bawahnya.
b.      Kekuasaan penghargaan
Pimpinan yang menggunakan kekuasaan legitimasi dapat menggunakan penghargaan untuk memperoleh kerja sama dari bawahan. Bawahan mungkin akan menanggapi petunjuk atau permintaan apabila pimpinan dapat menyediakan penghargaan yang bernilai , misalnya: kenaikan gaji, pemberian bonus, pemberian hari libur dan lain - lain.

c.       Kekuasaan paksaan
Kekuasaan paksaan adalah kekuasaan dengan hukuman. Bawahan akan tunduk karena ketakutan. Walaupun kekuasaan paksaan mungkin digunakan untuk memperbaiki perilaku yang tidak produktif dalam organisasi, namun seringkali menghasilkan akibat yang sebaliknya.
d.      Kekuasaan kharisma
Seseorang pemimpin yamg kharismatik dapat mempengaruhi orang karena benar - benar dari pribadi dan tingkah laku dari pimpinan tersebut.
e.       Kekuasaan ahli
Seseorang yang mempunyai keahlian khusus mempunyai nilai yang lebih tinggi. Kekuasaan ini tidak terikat pada urutan tingkatan.

     Kelima dari tipe kekuasaan interpersonal di atas adalah saling ketergantungan karena tipe - tipe tersebut dapat dipakai dengan cara dikombinasikan dengan berbagai cara dan masing - masing dapat mempengaruhi yang lainnya.

6.      Pimpinan dan kepemimpinan
Manajer atau kepemimpinan adalah orang yang bertugas melakukan proses atau fungsi manajemen. Berdasarkan hierarki tugasnya pimpinan dikelompokkan sebagai berikut :
a.       Pimpinan tingkat pertama ( Lower Manager )
Adalah pimpinan yang langsung berhubungan dengan para pekerja yang menjalankan mesin peralatan atau memberikan pelayanan langsung pada konsumen. Pimpinan ini diutamakan memiliki proporsi peranan technical skill yang terbesar dan konseptual skill yang terkecil.
b.      Pimpinan tingkat menengah ( Middle Manager )
Adalah pimpinan yang berada satu tingkat di atas Lower Manager. Pimpinan ini menjadi saluran informasi dan komunikasi timbal balik antara Lower Manager dan Top Manager , yakni pimpinan puncak (  di atas Middle Manager ) sehingga pimpinan ini diutamakan memiliki kemampuan mengadakan hubungan antara keduanya. Konseptual skill adalah ketramp[ilan dalam penyusunan konsep - konsep, identifikasi, dan penggambaran hal - hal yang abstrak. Sedangkan techmnical skill adalah ketrampilan dalam melakukan pekerjaan secara teknik. Hubungan antara manusia merupakan ketrampilan dalam melakukan komunikasi dengan sesama  manusia lain.
c.       Pimpinan puncak ( Top Manager )
Pimpinan puncak adalah manajer yang menduduki kewenangan organisasi tertinggi dan sebagai penanggung jawab utama pelaksanaan administrasi. Pimpinan ini memiliki proporsi peranan konseptual skill yang terbesar dan technical skill yang terkecil.
     
      Hubungan antar manusia ada dua jenis :
a.       Human Relations
Adalah hubungan antar manusia intern dalam organisasi guna membina lancarnya tim kerja.
b.      Public Relations
Adalah hubungan antar manusia ekstern keluar organisasi.

      Tugas - tugas pimpinan :
a.       Sebagai pengambil keputusan
b.      Sebagai pemikul tanggung jawab
c.       Mengerahkan sumber daya untuk mencapai tujuan sebagai pemikir konseptual
d.      Bekerja dengan atau melalui orang lain
e.       Sebagai mediator, politikus, dan diplomat.

Peranan pemimpin terhadap kelompok:
a.       Sebagai penghubung interpersonal, yaitu merupakan simbul suatu kelompok dalam melakukan tugas secara hukum dan sosial, mempunyai tanggung jawab dan memotivasi, mengatur tenaga dan mengadakan pengembangan serta merupakan penghubung jaringan kerja di luar kelompok.
b.      Sebagai inovator atau pembaharu
c.       Sebagai pemberi informasi, yaitu memonitor informasi yang ada di lingkungan organisasi, menyebarluaskan informasi dari luar kepada bawahan dan mewakilikelompok sebagai pembicara.
d.      Menghimpun kekuatan
e.       Merangsang perdebatan masyarakat
f.       Membuat kedudukan perawat di media massa
g.      Memilih suatu strategi utama yang paling efektif, bertindak di saat yang tepat
h.      Mempertahankan kegiatan
i.        Memelihara formaf desentralisasi organisasi
j.        Mendapatkan dan mengembangkan data penelitian yang terbaik
k.      Mempelajari pengalaman
l.        Jangan menyerah tanpa mencoba.

7.      Manajemen konflik
Konflik, menurut Deutsch ( 1969 ) didefinisikan sebagai suatu perselisihan atau perjuangan yang timbul bila keseimbangan antara perasaan, pikiran, hasrat, dan perilaku seseorang yang terancam. Penyebab konflik, Edmund ( 1979 ) menyebutkan sembilan faktor umum yang berkaitan dengan semua kemungkinan penyebab konflik, yaitu :
a.       Spesialisasi
Sebuah kelompok yang bertanggung jawab untuk suatu tugas tertentu atau area pelayanan tertentu memisahkan dirinya dari keompok lain. Seringkali berakibat terjadinya konflik antar kelompok.

b.      Peran yang bertugas banyak
Peran keperawatan membutuhkan seseorang untuk dapat menjadi seorang manajer, seorang pemberi asuhan yang trampil, seorang ahli dalam hubungan antar manusia, seorang negosiator, penasihat , dan sebagainya. Setiap sub peran dengan tugas - tugasnya memerlukan orientasi yang berbeda - beda yang dapat menyebabkan konflik.
c.       Interdependensi peran
Peran perawat pelaksana dalam praktek pribadi tidak akan serumit seperti peran perawat dalam tim kesehatan yang multidisiplin, dimana tugas seseorang perlu didiskusikan dengan orang lain yang mungkin bersaing untuk area - area tertentu.
d.      Kekaburan tugas
Ini diakibatkan oleh peran yang mendua dan kegagalan untuk memberikan tanggung jawab dan tanggung gugat untuk suatu tugas pada individu atau kelompok.
e.       Perbedaan
Sekelompok orang dapat mengisi peran yang sama tetapi perilaku sikap, emosi, dan kognitif orang - orang ini terhadap peran mereka bisa berbeda.
f.       Kekurangan sumber daya
Persaingan ekonomi, pasien, jabatan, adalah sumber absolut dari konflik antar pribadi dan antar kelompok.
g.      Perubahan
Saat perubahan menjadi lebih tampak, maka kemungkinan tingkat konflik akan meningkat secara proporsional.
h.      Konflik tentang imbalan
Bila orang mendapat imbalan secara berbeda - beda, maka sering timbul konflik, kecuali jika mereka terlibat dalam perbuatan sistem imbalan.
i.        Masalah komunikasi
Sikap mendua, penyimpangan persepsi, kegagalan bahasa, dan penggunaan saluran komunikasi secara tidak benar, semuanya akan menyebabkan konfllik.

      Manajemen atau penatalaksanaan konflik dapat dilakukan melalui upaya sebagai berikut:
a.       Disiplin
Upaya disiplin digunakan untuk menata atau mencegah konflik, perawat pengelola harus mengetahui dan memahami ketentuan peraturan organisasi. Jika ketentuan tersebut belum jelas maka perlu dilakukan klarifikasi. Disiplin merupakan cara untuk mengoreksi atau memperbaiki staf yang tidak diinginkan.
b.      Mempertahankan tahap kehidupan
Konflik dapat diatasi dengan membantu individu perawat mencapai tujuan sesuai dengan tahapan kehidupannya, yang meliputi :
1)      Tahap dewasa muda
2)      Tahap dewasa menengah
3)      Tahap manusia diatas 55 tahun
c.       Komunikasi
Komunikasi merupakan seni yang penting untuk mempertahankan lingkungan yang terapeutik. Melalui peningkatan komunikasi yang efektif maka konflik dapat dicegah.
d.      Asertif training
Perawat yang asertif mengetahui bahwa mereka bertanggung jawab terhadap pikiran, perasaan, dan tindakannya. Peningkatan kesadaran, training sensitivitas dan training asertif dapat meningkatkan kemampuan pengelola keperawatan dalam mengatasi perilaku konflik.

      Teknik manajemen konflik :
a.       Menetapkan tujuan
Apabila ingin terlibat dalam manajemen konflik, maka perawat perlu memahami gambaran yang menyeluruh tentang masalah atau konflik yang akan diselesaikan. Tujuan yang ingin dicapai antara lain : meningkatkan alternatif penyelesaian masalah konflik, bila perlu motivasi fihak yang terlibat untuk mendiskusikan alternatif penyelesaian masalah yang mungkin diambil sehingga pihak yang terlibat konflik dapat bertanggung jawab terhadap keputusan yang dipilih.
b.      Memilih strategi
1)      Menghindar
Untuk mencegah konflik yang lebih berat pada situasi yang memuncak, maka strategi menghindar merupakan alternatif penyelesaian konflik yang bersifat sementara yang tepat untuk dipilih.
2)      Akomodasi
Mengakomodasikan pihak yang terlibat konflik dengan cara meningkatkan kerja sama dan keseimbangan serta mengembangkan kemampuan penyelesaian masalah yang tepat dengan cara mengumpulkan data yang akurat dan mengambil suatu kesepakatan bersama.
3)      Kompromi
Dilakukan dengan mengambil jalan tengah di antara kedua pihak yang terlibat konflik.
4)      Kompetisi
Sebagai pimpinan, perawat dapat menggunakan kekuasaan yang terkait dengan tugas stafnya melalui upaya meningkatkan motivasi antar staf, sehingga timbul rasa persaingan yang sehat.
5)      Kerja sama
Apabila pihak - pihak yang terlibat konflik bekerja sama untuk mengatasi konflik tersebut, maka konflik dapat diselesaikan secara memuaskan.



Refrensi 

1.      Azrul Anwar ( 1996 ), Pengantar administrasi kesehatan, Binarupa Aksara,   Jakarta.

2.      ---------------- ( 1996 ),  Kepemimpinan    keperawatan     dalam    gerakan      inovasi  keperawatan  ( makalah  disampaikan  pada  seminar    keperawatan   di   PAM Keperawatan Soetopo, Surabaya ).

3.      Djoko Wiyono ( 1997 ), Manajemen    kepemimpinan    dan    organisasi   kesehatan,   Airlangga University Press, Surabaya.

4.      La Monika Elaine L ( 1998 ), Kepemimpinan   dan  manajemen  keperawatan,   EGC,  Jakarta.

5.      Prayitno  Subur ( 1997 ), Dasar  -   dasar     administrasi     kesehatan     masyarakat,  Airlangga, University  Press, Surabaya.

6.      Swanburg Russel C. ( 2000 ), Pengantar kepemimpinan & manajemen  keperawatan,  EGC, Jakarta.

7.      Nursalam (2002) Manajemen Keperawatan; Aplikasi pada praktek perawatan profesional, Salemba Medika, Jakarta

Dasar-Dasar Riset Keperawatan

Ilmu keperawatan merupakan suatu disiplin ilmu yang memiliki body of knowledge yang khas sehingga akan selalu berkembang. Perkembangan ilmu keperawatan menjadi tanggungjawab semua stakeholder keperawatan, diantaranya adalah para professional keperawatan, pendidik keperawatan, dan mahasiswa keperawatan. Salah satu bagian penting dalam proses pengembangan ilmu keperawatan adalah dengan adanya riset keperawatan.
Secara garis besar, riset keperawatan adalah suatu proses yang dilakukan dengan metode tertentu untuk menemukan, menganalisa, memecahkan, dan mendokumentasikan masalah keperawatan.

Ada 2 nilai strategis mengapa riset keperawatan itu penting bagi ilmu keperawatan, yaitu:
Pertama, riset keperawatan akan memberikan kontribusi yang positif terhadap perkembangan dan kemajuan ilmu keperawatan;
Kedua, riset keperawatan jika dikelola dengan prinsip proaktif, profesional, dan proporsional akan memberikan keuntungan dalam bentuk pertambahan nilai (revenue generating) bagi ilmu keperawatan.

Riset keperawatan merupakan salah satu bentuk karya ilmiah, sehingga untuk dapat menguasainya, pemahaman tentang dasar-dasar pembuatan karya ilmiah sangat diharuskan.
Di dalam karya ilmiah, ada 3 aspek filosofis yang harus dipahami, yaitu:

Pertama, aspek ontologis.
Aspek ini meliputi objek yang akan dibicarakan dalam suatu karya ilmiah, atau dengan kata lain aspek ontologis adalah objek kajian yang biasanya berupa tema atau masalah yang akan dibahas. Sebuah kerangka pemikiran latar belakang yang jelas, logis, runtut, dan alur pemikiran yang konsisten sangat diperlukan supaya objek kajian yang akan dibahas mudah dipahami

Kedua, aspek epistemologis.
Aspek ini terkait dengan metode pemecahan masalah, baik secara teoritis maupun secara empiris sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara rasional empiris.

Ketiga, aspek aksiologis.
Aspek ini berkaitan dengan kontribusi atau nilai pemecahan masalah yang ditemukan dalam judul atau tema kajian. Umumnya, aspek aksiologis tidak tidak harus dimunculkan dalam bab tersendiri, namun biasanya dapat ditemukan dalam tujuan penelitian dan manfaat penelitian, yang terdiri dari nilai pengembangan akademis, kebijakan, dan pelaksanaan teknis.
Untuk membedakan riset keperawatan dengan karya ilmiah yang lain, perlu diketahui jenis-jenis karya ilmiah.

Ada 2 jenis karya ilmiah, yaitu:
Pertama, karya ilmiah yang dipublikasikan.
Publikasi ini umumnya dilakukan dalam pertemuan-pertemuan ilmiah atau melalui media seperti buku, jurnal, monografi, prosiding. Karya ilmiah yang dipublikasikan diantaranya adalah artikel ilmiah, makalah, jurnal, poster hasil penelitian, dan buku.

Kedua, karya ilmiah yang tidak dipublikasikan.
Tidak dipublikasikan artinya hanya dapat ditemukan dalam kalangan-kalangan tertentu, misalnya hanya didokumentasikan di perpustakaan. Karya ilmiah jenis ini seperti penelitian baik oleh dosen atau mahasiswa, laporan kegiatan mahasiswa, atau tugas akhir mahasiswa.

pengembangan diri dan kepribadian


Kepribadian adalah keadaan dalam diri seseorang yang menentukan bagaimana penampilannya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Kepribadian

Bagaimana kepribadian itu berkembang :

1. Faktor bawaan
Unsur bawaan genetic ( ciri fisik : warna kulit, mata, rambut ) dan kecenderungan dasar ( kepekaan, bakat, potensi diri / IQ ).
2. Faktor lingkungan
Lingkungan sekolah, social / budaya ( seperti : teman, guru ) dan perluasan wawasan ( karena : pendidikan formal / informal, perjalanan / pergaulan )
3. Interaksi antara bawaan dan lingkungan
Interaksi yang terus menerus antara bawaan dan lingkungan menyebabkan timbulnya perasaan AKU / DIRIKU dalam diri seseorang.

Contoh : Anak yang sering dipukul maka cenderung pada saat dewasa menjadi sadis, kejam. Pengalaman masa kanak-kanak

Konsep diri / konsep diri individu dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor :
1. harapan orang tua;
2. keadaan fisik seseorang;
3. sikap anggota keluarga;
4. kematangan biologis;
5. pengaruh media massa;
6. kesempatan untuk menempuh pendidikan;
7. tuntutan sekolah;
8. agama dan kepercayaan;
9. pengaruh dan pendapat teman sebaya;
10.keadaan ekonomi keluarga;
11.masalah / problem keluarga;
12.sikap teman sebaya.

Perkembangan diri masing-masing masa pertumbuhan :
1. kanak-kanak ( konsep diri dapat dipengaruhi oleh : orang tua, guru, teman sebaya, saudara );
2. dewasa ( konsep diri dapat dipengaruhi oleh : majikan, lingkungan, pasangan hidup, teman, anak, orang tua );
3. usia tua ( konsep diri dapat dipengaruhi oleh : anak, tetangga, pasangan hidup, cucu ).

Pengertian Pengembangan Pribadi
Usaha individu agar memahami dirinya sendiri, yaitu : minat-minatnya, kemampuan-kemampuannya, hasrat-hasratnya, dan rencana-rencananya dalam menghadapi masa depannya.

Tanda-tanda pribadi yang memiliki kepribadian yang matang :

Gordon W. Allpont :
1. Perluasan diri, memperhatikan dan berusaha untuk orang lain ( akrab, hangat, berpartisipasi dengan orang lain );
2. Kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif ( mengenali diri sendiri secara realistis );
3. Memiliki filsafat hidup ( menentukan segala sesuatu berharga / tidak, patut / tidak untuk diusahakan dalam hidup ini ).

Carl Rogers :
1. Terbuka terhadap pengalaman baru;
2. Selalu dalam proses “ menjadi;”
3. Percaya pada diri sendiri.

Abraham Maslow :
1. orientasi yang realistik;
2. menerima diri, orang lain, dan dunia;
3. spontanitas;
4. berorientasi pada masalah, bukan pada diri sendir;
5. pemencilan;
6. otonomi dan mandiri;
7. menghargai orang lain dan benda-benda lain;
8. terbuka terhadap pengalaman baru;
9. memiliki perasaan dasar untuk memberi perhatian kemanusiaan;
10.hubungan antar pribadi yang mendalam;
11.memiliki sikap dan nilai-nilai demokrasi;
12.mampu membedakan antara alat dan tujuan;
13.memiliki humor ( yang filsafati, spontan, dan tidak menyakiti orang lain);
14.kreatif;
15.perlawanan pada komunitas yang membabi buta.

Pengenalan Diri

Hirarki kebutuhan manusia :
1. Kebtuhan dasar ( seperti : sandang, pangan, jasmani );
2. Kebutuhan rasa aman;
3. Kebutuhan akan kasih saying;
4. Kebutuhan akan harga diri;
5. Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri.

Kebutuhan dan gunanya :
1. Kita dapat memahami apa, bagaimana, dan siapa diri kita sebenarnya;
2. Membantu kita untuk lebih mudah menyesuaikan diri;
3. Membantu kita memahami orang lain dari berbagai lingkungan;
4. Identitas diri sangat membantu mempertebal keyakinan dan rasa percaya diri kita dalam pengembangan kepribadian.

Faktor-faktor Penghambat Pengembangan Pribadi

Faktor yang berasal dari diri sendiri :
1. Tidak punya tujuan hidup yang jelas;
2. Individu kurang termotivasi;
3. Ada keengganan untuk menelaah diri sendiri ( takut menerima kenyataan karena memiliki kekurangan / kelemahan );
4. Orang yang usianya sudah tua tidak melihat bahwa kearifan dan kebijaksanaan bisa dicapai;
5. Merasa tidak ada tantangan;
6. Merasa tidak mampu;
7. Sudah merasa puas;
8. Merasa tidak berharga.

Faktor penghambat yang berasal dari lingkungan :
1. Sistem yang dianut ( di lingkungan : pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal );
2. Tanggapan, sikap atau kebiasaan dalam lingkungan kebudayaan ( kebiasaan atau tradisi, misalnya : isteri sebagai pengurus rumah tangga sulit berkembang dalam bidang profesi yang diminati ).

Definisi Perawat profesional 


Peran perawat Merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan kedudukan dan system, dimana dapat dipengaruhi oleh keadaan social baik dari profesi perawat maupun dari luar profesi keperawatan yang bersifat konstan.
1. PEMBERI ASUHAN KEPERAWATAN
Sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat membantu klien mendapatkan kembali kesehatannya melalui proses penyembuhan. Perawat memfokuskan asuhan pada kebutuhan kesehatan klien secara holistic, meliputi upaya untuk mengembalikan kesehatan emosi, spiritual dan sosial. Pemberi asuhan memberikan bantuan kepada klien dan keluarga klien dengan menggunakan energy dan waktu yang minimal. Selain itu, dalam perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat memberikan perawatan dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat dan sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. Pemberian asuhan keperawatannya dilakukan dari yang sederhana sampai yang kompleks.
2. PEMBUAT KEPUTUSAN KLINIS
 Membuat keputusan klinis adalah inti pada praktik keperawatan. Untuk memberikan perawatan yang efektif, perawat menggunakan keahliannya berfikir kritis melalui proses keperawatan. Sebelum mengambil tindakan keperawatan, baik dalam pengkajian kondisi klien, pemberian perawatan, dan mengevaluasi hasil, perawat menyusun rencana tindakan dengan menetapkan pendekatan terbaik bagi klien. Perawat membuat keputusan sendiri atau berkolaborasi dengan klien dan keluarga. Dalam setiap situasi seperti ini, perawat bekerja sama, dan berkonsultasi dengan pembe ri perawatan kesehatan professional lainnya (Keeling dan Ramos,1995).
3. PELINDUNG DAN ADVOKAT KLIEN
 Sebagai pelindung, perawat membantu mempertahankan lingkungan yang aman bagi klien dan mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kecelakaan serta melindungi klien dari kemungkinan efek yang tidak diinginkan dari suatu tindakan diagnostic atau pengobatan. Contoh dari peran perawat sebagai pelindung adalah memastikan bahwa klien tidak memiliki alergi terhadap obat dan memberikan imunisasi melawat penyakit di komunitas.
Sedangkan peran perawat sebagai advokat, perawat melindungi hak klien sebagai manusia dan secara hukum, serta membantu klien dalam menyatakan hak-haknya bila dibutuhkan.

4. MANAGER KASUS
Dalam perannya sebagai manager kasus, perawat mengkoordinasi aktivitas anggota tim kesehatan lainnya, misalnya ahli gizi dan ahli terapi fisik, ketika mengatur kelompok yang memberikan perawatan pada klien. Berkembangnya model praktik memberikan perawat kesempatan untuk membuat pilihan jalur karier yang ingin ditempuhnya. Dengan berbagai tempat kerja, perawat dapat memilih antara peran sebagai manajer asuhan keperawatan atau sebagai perawat asosiat yang melaksanakan keputusan manajer (Manthey, 1990). Sebagai manajer, perawat mengkoordinasikan dan mendelegasikan tanggung jawab asuhan dan mengawasi tenaga kesehatan lainnya.          
5. REHABILITATOR         
 Rehabilitasi adalah proses dimana individu kembali ke tingkat fungsi maksimal setelah sakit, kecelakaan, atau kejadian yang menimbulkan ketidakberdayaan lainnya. Seringkali klien mengalami gangguan fisik dan emosi yang mengubah kehidupan mereka. Disini, perawat berperan sebagai rehabilitator dengan membantu klien beradaptasi semaksimal mungkin dengan keadaan tersebut.       
6. PEMBERI KENYAMANAN      
 Merawat klien sebagai seorang manusia, karena asuhan keperawatan harus ditujukan pada manusia secara utuh bukan sekedar fisiknya saja, maka memberikan kenyamanan dan dukungan emosi seringkali memberikan kekuatan bagi klien sebagai individu yang memiliki perasaan dan kebutuhan yang unik. Dalam memberi kenyamanan, sebaiknya perawat membantu klien untuk mencapai tujuan yang terapeutik bukan memenuhi ketergantungan emosi dan fisiknya.
7. KOMUNIKATOR
 Keperawatan mencakup komunikasi dengan klien dan keluarga, antar sesame perawat dan profesi kesehatan lainnya, sumber informasi dan komunitas. Dalam memberikan perawatan yang efektif dan membuat keputusan dengan klien dan keluarga tidak mungkin dilakukan tanpa komunikasi yang jelas. Kualitas komunikasi merupakan factor yang menentukan dalam memenuhi kebutuhan individu, keluarga dan komunitas.  
8. PENYULUH         
            Sebagai penyuluh, perawat menjelaskan kepada klien konsep dan data-data tentang kesehatan, mendemonstrasikan prosedur seperti aktivitas perawatan diri, menilai apakah klien memahami hal-hal yang dijelaskan dan mengevaluasi kemajuan dalam pembelajaran. Perawat menggunakan metode pengajaran yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan klien serta melibatkan sumber-sumber yang lain misalnya keluarga dalam pengajaran yang direncanakannya.


9. KOLABORATOR
Peran perawat disini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapi, ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.
10. EDUKATOR
            Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahab perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.
11. KONSULTAN   
Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan klien tehadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.      
12. PEMBAHARU
 Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.


Fungsi perawat
Definisi fungsi itu sendiri adalah suatu pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan perannya. Fungsi dapat berubah disesuaikan dengan keadaan yang ada. dalam menjalankan perannya, perawat akan melaksanakan berbagai fungsi diantaranya:   

1. Fungsi Independen 
Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti pemenuhan kebutuhan fisiologis (pemenuhan kebutuhan oksigenasi, pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit, pemenuhan kebutuhan nutrisi, pemenuhan kebutuhan aktivitas dan lain-lain), pemenuhan kebutuhan dan kenyamanan, pemenuhan kebutuhan cinta mencintai, pemenuhan kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri.   

2. Fungsi Dependen 
 Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas pesan atau instruksi dari perawat lain. Sehingga sebagai tindakan pelimpahan tugas yang diberikan. Hal ini biasanya silakukan oleh perawat spesialis kepada perawat umum, atau dari perawat primer ke perawat pelaksana.




3. Fungsi Interdependen      
 Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan di antara satu dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerja sama tim dalam pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan keperawatan pada penderita yang mempunyai penyakit kompleks. Keadaan ini tidak dapat diatasi dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter ataupun lainnya, seperti dokter dalam memberikan tindakan pengobatan bekerjasama dengan perawat dalam pemantauan reaksi onat yang telah diberikan.

Definisi Perawat

Setelah browsing di Internet akhirnya saya menemukan definisi dari perawat:
1. Keperawatan adalah pekerjaan yang bertujuan untuk menjaga/merawat orang yang sakit atau lemah   dengan profesinya adalah perawat (wordnet.princeton.edu).
2. Keperawatan adalah suatu profesi yang berfokus pada menjaga, memelihara dan mengembalikan   kesehatan yang optimal baik individu, keluarga dan masyarakat (en.wikipedia.org).
3. Perawat adalah seorang petugas kesehatan professional bertujuan untuk merawat,  menjaga  keselamatan dan menyembuhkan orang yang sakit atau terluka baik akut maupun kronik,  melakukan perencanaan perawatan kesehatan dan melakukan perawatan gawat darurat dalam  kerangka pemeliharaan kesehatan dalam lingkup yang luas (en.wikipedia.org).
4. Keperawatan adalah ilmu terapan yang mempunyai dasar ilmu yang unik dengan menggunakan prinsip  dasar fisik, biologi dan ilmu perilaku manusia (www.ptc.edu/department_nursing/philosophy.htm).
5. Keperawatan merupakan perlindungan, promosi, dan optimisasi kesehatan dan kemampuan,  pencegahan penyakit dan cedera, pengurangan yang menderita melalui diagnosa dan perawatan yang  bersumber pada respons manusia, serta advokasi dalam perawatan individu, keluarga, masyarakat, dan  populasi (www.nursingworld.org).
6.  Keperawatan meliputi kemandirian atau kolaboratif dalam merawat individu, keluarga, kelompok dan komunitas, baik sakit atau sehat dengan segala kondisi yang meliputinya. Keperawatan terdiri dari promosi kesehatan, pencegahan penyakit dan perawatan orang sakit, cacat dan meninggal dunia. Advokasi, promosi lingkungan aman, penelitian, berpartisipasi dalam merumuskan kebijakan kesehatan bagi pasien dan manajemen sistem kesehatan serta pendidikan dan kode etik keperawatan (www.icn.ch).

Keperawatan tidak hanya berkutat di rumah sakit, sesuai dengan defenisi tadi, keperawatan dibagi menjadi beberapa bagian :
1)       Keperawatan Gawat Darurat
2)       Keperawatan Maternitas (Anak-anak dan Ibu hamil)
3)       Keperawatan Gerontik (Lansia)
4)       Keperawatan Medikal Bedah (Bedah dan Penyakit Dalam, dll)
5)       Keperawatan Komunitas (Masyarakat)


Dalam proses keperawatan terdapat empat tahapan yaitu:
1. Pengkajian
Pada dasarnya tujuan pengkajian adalah mengumpulkan data objektif dan subjektif dari klien. Adapun data yang terkumpul mencakup klien, keluarga, masyarakat, lingkungan, atau kebudayaan. (Mc Farland & mc Farlane, 1997)
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan selama pengkajian antara lain:
Memahami secara keseluruhan situasi yang sedang dihadapi oleh klien dengan cara memperhatikan kondisi fisik, psikologi, emosi, sosialkultural, dan spiritual yagn bisa mempengaruhi status kesehatannya.
Mengumpulkan semua informasi yang bersangkutan dengan masa lalu, saat ini bahkan bahkan sesuatu yang berpotensi menjadi masalah bagi klien guna membuat suatu database yang lengkap. Data yang terkumpul berasal dari perawat-klien selama berinteraksi dan sumber yang lain. (Gordon, 1987;1994)
Memahami bahwa klien adalah sumber informasi primer.
Sumber informasi sekunder meliputi anggota keluarga, orang yang berperan penting dan catatan kesehatan klien.
Metode pengumpulan data meliputi :
Melakukan interview/wawancara.
Riwayat kesehatan/keperawatan
Pemeriksaan fisik
Mengumpulkan data penunjang hasil laboratorium dan diagnostik lain serta catatan kesehatan (rekam medik).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah menganalisis data subjektif dan objektif untuk membuat diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan melibatkan proses berpikir kompleks tentang data yang dikumpulkan dari klien, keluarga, rekam medik, dan pemberi pelayanan kesehatan yang lain.
The North American Nursing Diagnosis Association (NANDA, 1992) mendefinisikan diagnosa keperawatan semacam keputusan klinik yang mencakup klien, keluarga, dan respon komunitas terhadap sesuatu yan berpotensi sebagai masalah kesehatan dalam proses kehidupan.
Dalam membuat diagnosa keperawatan dibutuhkan ketrampilan klinik yang baik, mencakup proses diagnosa keperawatan dan perumusan dalam pembuatan pernyataan keperawatan.
Proses diagnosa keperawatan dibagi menjadi kelompok interpretasi dan menjamin keakuratan diagnosa dari proses keperawatan itu sendiri. Perumusan pernyataan diagnosa keperawatan memiliki beberapa syarat yaitu mempunyai pengetahuan yang membedakan antara sesuatu yang aktual, risiko, dan potensial dalam diagnosa keperawatan.
3. Intervensi
Intervensi keperawatan adalah preskripsi untuk perilaku spesifik yang diharapkan dari pasien dan/atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat. Intervensi dilakukan untuk membantu pasien dalam mencapai hasil yang diharapkan.
Intervensi keperawatan harus spesifik dan dinyatakan dengan jelas. Pengkualifikasian seperti bagaimana, kapan, di mana, frekuensi, dan besarnya memberikan isi dari aktivitas yang direncanakan. Intervensi keperawatan dapat dibagi menjadi dua yaitu mandiri yaitu dilakukan oleh perawat dan kolaboratif yaitu yang dilakukan oleh pemberi perawatan lainnya.
4. Evaluasi
Evaluasi mengacu kepada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Pada tahap ini perawat menemukan penyebab mengapa suatu proses keperawatan dapat berhasil atau gagal. (Alfaro-LeFevre, 1994)
Perawat menemukan reaksi klien terhadap intervensi keperawatan yang telah diberikan dan menetapkan apa yang menjadi sasaran dari rencana keperawatan dapat diterima.Perencanaan merupakan dasar yang mendukung suatu evaluasi.
Menetapkan kembali informasi baru yang diberikan kepada klien untuk mengganti atau menghapus diagnosa keperawatan, tujuan, atau intervensi keperawatan.
Menentukan target dari suatu hasil yang ingin dicapai adalah keputusan bersama antara perawat dank lien (Yura & Walsh, 1988

Using Reading Response Journals for Reading Comprehension


Response Journals for Reading Comprehension
by Lauree M. Buus
Lauree M. Buus is a student in the MCSI program at Black Hills State University, at Spearfish, South Dakota, U.S.A.
Abstract
This action research study is aimed at addressing the memory issues that are seen daily in the classroom. Students in a literature-based reading program used reading response journals to assist in their reading comprehension. Anecdotal observations, journal writing, conferencing, interest surveys, and knowledge-based comprehension tests were used to determine the effectiveness of this approach.

Memory has three components: sensory memory storage, short-term memory storage, and long-term memory storage. It is desirable for students to get major concepts into long-term memory and back out when needed. This process includes the steps of encoding, storage, retrieval, and reporting. Many factors can influence these steps. Teaching memory strategies could help improve a student's memory ability. In this study, keeping a reading response journal was the strategy used to reach this goal and
subsequently to improve reading comprehension.

Research into Literature
A student reads a book. She says it is very good and is not having any problems as she reads it. When she takes a knowledge-based test on it she scores four correct out of ten.

Yet another student, after reading two chapters, cannot tell the name of the main character of the story. When reading orally with this same student, I did not find him to have any problem with pronunciation and in most cases he can tell what the words mean, but he cannot relate what just happened in the story.

These issues seem to point to a problem with this student's memory ability to remember what was read. This can be and often is very frustrating to a teacher. So what can be done? Some teachers do such things as verbal rehearsal or use manipulatives. But when that is not enough, what then? Would having the student write about what they read help him or her comprehend it? These are the questions I have had. The experiences mentioned have happened in my own classroom. I have become very frustrated with students who just do not seem to get it, especially in the area of reading comprehension.

My research into the literature was two-pronged. I felt it necessary to investigate the role of memory and what memory is as well as investigate reading response journals.

What is memory? According to the Random House College Dictionary, (1982), it is "the mental capacity of retaining and reviving impressions, or of recalling or recognizing previous experiences." In other words, it is remembering. Memory has three main steps to memory storage: sensory memory storage, short-term memory storage, and long-term memory storage (Turkington & Harris, 2001). Turkington and Harris go on to say that short-term memory storage is the temporary storage of information while it is being processed and that important information must then be pushed on to long term memory storage. The short-term memory has also been referred to as the working memory. It is here as a "mental work space" (p.256) that we sort and encode information before adding it to long-term memory, or we pull information from long-term memory to reprocess it, (Zimbardo, Weber, & Johnson, (2003). Levine (2002) says that long-term memory is "the warehouse for more or less permanent knowledge," (p.93). It is in the long-term memory that storage involving associations with words or meaning occurs (Turkington & Harris, 2001).

To take this idea a step further, the memory process can be looked at as having three parts, encoding, storage, and retrieval (Battle & Labercane, 1985). Gillam (1997) adds one more part, reporting. The encoding would be to attend to and interpret the information. The storage would be the holding on of information. The retrieval would be the process of recalling information or bringing it back to mind, and reporting it would be the giving out of the information either verbally or in written form (Gillam, 1997).

Each person differs in his/her long-term memory abilities. Influences such as maturation, age, and genetic differences in the speed of processing information, play a role in how an individual develops memory (Weinert & Helmke, 1998). So a young child will have a lesser memory ability than an older child. Also, certain influences can specifically affect each step of the memory process. Prior knowledge experience, degree of participation, and discussion of an event during the event happening can affect the encoding of information (Hudson & Gillam, 1997). Encoding is also influenced by the degree of attention being given to a task by a person (Levine, 2002; Gillam, 1997; Davis, & Cochran, 1989). The research also suggests that if a student is not paying attention then he or she will not retain what is being learned. Time, changes in knowledge base, repetition of similar experiences, experience reenactment, and re-experiencing part of an event can influence the storage of information (Hudson & Gillam, 1997). Influence on retrieval can be affected by the use of props, drawing, and age difference (Hudson & Gillam, 1997). Narrative skills and frequency of opportunities to participate in memory type conversation influence the reporting step (Hudson & Gillam, 1997).

By knowing about such influences, can a teacher then implement strategies to enhance a student's memory? Yes, it seems that some do agree that it is possible to teach strategies to enhance a student's memory. It is argued that the teaching of memory strategies is important and enhances the use of higher order skills (Scruggs & Mastropieri, 1992). Scruggs and Mastropieri (1992) also note that a strong knowledge base is an important beginning to higher order skills and the using memory strategies can help develop this strong knowledge base. Students who have been exposed to high memory strategy usage have better comprehension especially for low and average achievers (Moley et al., 1992). Memory strategies are needed for success in school so it is important to train children in their use (Arabsolghar & Elkins, 2000). But, it should not stop there. Students need to also know when to use a strategy and know the value of using it (Cox, 1994).

Memory strategies are activities that are used to improve a memory outcome (Arabsolghar & Elkins, 2000). So what and how does a teacher need to teach? Scruggs and Mastropieri (1992) suggest ways teachers can improve their students' abilities to remember. Two of these ways are on what I chose to focus. The first, according to Scruggs and Mastropieri (1992), is to promote memory by writing things down such as taking notes and journal writing. The other given by Scruggs and Mastropieri (1992) is to increase practice and review by focusing on the important concepts and provide a brief but regular review. Chunking and rehearsal strategies help to retain material and then to transfer it to long-term memory (Zimbardo, Weber, & Johnson, 2003). These suggestions seem to point to the use of reading response journals.

Perkins (1992), in his book Smart Schools, From Training Memories to Educating Minds gives three goals for education: retention of knowledge, understanding of knowledge, and active use of knowledge. He notes that these three goals can occur only by learning events in which students must "think about and think with what they are learning" (p.8). These thoughts scaffold the use of reading response journals to the role of memory on learning. The retention of knowledge encompasses memory and the understanding and active use of knowledge. This retention could come from keeping a reading response journal. For students to have the opportunity to express a response to their reading helps develop memory, therefore, several professional resources have stressed the use of reader response journals (Asselin 2000).

A reading response journal, according to Fountas & Pinnell (2001), is a place that students can write about their reading. The journal allows students to record their thoughts so that they can review and reflect on them. Another definition describes them as a journal where students respond to any reading by writing summaries of what they read or personal reactions to what they read (Manning, 1999). Manning (1999) went on to explain that the purpose for such a journal offers the teacher a way to see the amount of meaning of a text that the reader has constructed. It has also been stated that the purpose for a reader's journal is to write about, and respond to reading and to hold on to the information (Rief, 2003).

Study Plan
I used the students in my fifth grade classroom as my research population. The students ranged in age from ten years to twelve years. I had students with reading abilities ranging from second grade to sixth grade. There were ten girls and ten boys represented in this study. The ethnic background was approximately 66% white and 33% Native American. The students came from low to middle income families. The families were two-parent, single-parent, or guardianship by another family member.

This study took place for a three nine-week period. The first nine-week period was spent getting the preliminary data and surveying completed, as well as laying the ground work for other data collection. The second nine-week period was when the bulk of my anecdotal observations, reading conference observations, and monitoring of their journals took place. The third nine-week period was used for collecting the ending data and analysis of that data.

I started my project by informing my principal of my research study. I then sought parental permission of my students by way of a letter and permission form sent to the home with the student. I sent reminders for the return of the permission form. If after three weeks, a student did not return the permission form, I considered the student as not having permission and excluded them from the study. Only one student did not return the form.

The next step was to establish the requirements involved with beginning the students in the Accelerated Reading program, keeping student reading logs, and reading conference procedures. I also laid the groundwork and expectations of using a reading response journal. The expectations included writing daily about what they read, and answering questions or comments I may have made to their responses. I chose to keep the writing limited to them summarizing what they read and to elicit their feelings about what they read through my questions and comments. I also expected them to reread what they had written on a particular book prior to reading further the next day or testing on the book. This reinforced the suggestions of Scruggs and Mastropieri (1992) of promoting external memory by writing things down and increasing practice and review by providing brief but regular review.

I triangulated my data collection. To begin with I had students fill out a survey on their reading habits and attitudes. This was done before and after the study. I used a Likert scale of zero to four and tally marks to help visualize changes if any in their responses. My assumption was that the more confident students felt about their reading the more attentive they may be to their reading and attention to task increases retention of material (Levine, 2002).

As referenced before, I kept anecdotal observations of the students as they read and responded in their journals. I watched for time on task in comparison the amount and quality of writing they produced. I then watched for an increase or decrease in frequency.

On average, I conducted reading conferences on an individual basis four times during the nine-week period,with students over the books they had read. This helped me to monitor their thinking and to personally discuss their feelings about using a reading response journal. Through the book summaries and character descriptions done during these conferences, I was able to also detect improvement in a student's ability to recall information.

I used the Accelerated Reading program as part of my literature-based reading instruction. Within this program students read books of their choice at their level and then are tested on the computer. The program gave reports on their testing averages at any given time. The questions on these tests tend to be low level comprehension type questions and are therefore highly dependent on a student's ability to recall information from the stories they had read. The higher the average score was for testing, the better their recall of information.

It would not be fair to assume that there was no anxiety or risk with this project. Some students experienced frustration in having to keep a journal. Some also had feelings of inadequacy from low test scores. One-on-one assistance was given to those students who needed it. It was the sincere hope of this researcher that using reading response journals would improve my students' reading comprehension. I felt that keeping such a journal could assist my students in any of their academic endeavors as well as their reading outside of school.

Results
I first have to admit that, on paper, my proposal seemed so workable but putting it into practice was another story. The frustrations that some students had with keeping a journal and with reading on a daily basis in general erupted some days into out and out refusal to comply. This happened regardless of how much compromising was done. I often found myself tending to these difficulties instead of collecting anecdotal data or making conference observations.

After the first couple weeks, I analyzed my notes and noticed I had dwelled more on the repeated lack of motivation on the part of several students. I then chose to break my students into two groups for closer study. I felt that those students who were on task would be give me one picture of my research and those who were not on task another view. Students who were on task but had tested poorly had not reviewed their responses in their journals. When they went back and reviewed, they tested again with much better results. I observed other students developing the habit of looking over their responses before continuing to read. When I asked them about this, they responded that it helped them to refocus on the story. One student even said that it was handy because she had lost her bookmark and by rereading her last response she could tell where she was in the book. During their reading conferences, a repeated comment from many of the students was that keeping the reading response journal was helpful for remembering what they had read. I also noticed that the summaries the students wrote about their books and brought to the reading conference were better written with more detail in a more sequential manner.

Analysis of the journals themselves revealed growth for most of the students. I took a sample from the beginning of the nine-week period and another from the end of the nine-week period. The length of the entries grew from one line to several lines and even paragraphs. The following is an example of an early entry; "So far in my book Merlin has finally got back to the dark hills." A later entry from the same student read; "Mrs. Buus, Jeff is at home and was reading a letter from Lucy and Lucy is getting good at milking the cow. And she likes Jeff's dog." To some this difference may not seem like much, but for this student it was significant. Another student's beginning entry was; "I read Tales of a Fourth Grade Nothing and I liked it." The ending entry read; "Matilda's dad was mean to her but in the morning Matilda's dad told her that she was as brilliant as Shakespear while he was styling his hair and Matilda said Shakespear was bald and her dad was about to cut his hair." Again, this student showed growth by adding more detail and showing a better understanding of what was read. One student started out writing three pages telling almost every little thing that happened. By the end of the research period this student was down to one page or less telling the important details worth remembering. Those students who were not as motivated tended not to show much difference at all in their entries.

With the reading surveys, I was hoping to get an idea of my student's attitudes about reading and writing about their reading. In general there was not much change between the pre and post surveys. In October, out of twenty students surveyed, all but four students rated being able to read was very important. In January this changed to all but one student, and that student rated it as just important. When asked how well they liked to read, scores went from twelve students saying "well" or "very well" in October, to fifteen students saying "well" to "very well" in January. The question of how much they thought writing about what they read would influence how well they remembered what they read resulted in a slight decrease between October and January. On a scale of zero to four, with zero being "not at all" and four being "very much", sixteen students marked three or four in October. In January, that number went down to fourteen. When students were asked to write out responses on how they remembered what they have read, the answers were quite varied on the pre-survey in October, but nine of them did say "writing about it." On the post-survey in January this response had only increased to ten.

The testing scores from the Accelerated Reading program had twelve students with lower test scores at the end of the research period than at the beginning. Of those twelve, five decreased less that five percent, but these students had increased their reading levels so a slight decrease would be expected due to the fact that they were new to experiencing the more difficult text. The other students experienced a decrease of ten percent or more. I also called it a decrease if a student failed to read and test on a book during the nine-week period, two students fell into this category. On the flip side of this, eight students showed an increase in their testing averages. Four of the eight students had increased their reading levels, while two students had lower reading levels and two students remained the same on their reading levels. I would note here that the eight students who showed an increase in their testing averages were also students who were consistently on task with reading and writing in their reading response journals.

My final part of data collecting was the completion by the students of a making meaning about reading response journals worksheet. This worksheet was designed to get a feeling for how the students were perceiving the use of the journals. It was completed about midway through the research period. I read the questions orally to the students as they read along and filled in their responses. This worksheet started out with the students giving one-word descriptors of what reading response journals are to them. Answers ranged from "cool," "fun,",and "educational," to "boring," "stupid," and "dumb." There were far more positive responses given than negative responses. The final question had students write a two-word statement to give their opinion about the journals. Seventeen students wrote a positive statement and only three wrote a negative statement. Again, I noted that the negative statements came from students who were not motivated to keeping the reading response journals.

Conclusion
In analyzing the data and notes, I discovered an underlying factor that seemed to be an important issue in the results. That factor was motivation on the part of the student. I describe motivation here as the desire to read and respond consistently in their reading response journals.

If I were to ignore the results of students who were consistently not motivated, I would find the use of reading response journals a worthy strategy to enhance memory and thus increase reading comprehension. Almost all of my motivated students exhibited some positive results. For some, the increases were slight. I do feel that by the end of the year these increases would be greater.

The disturbing result was those students who were consistently not wanting to participate. They should not be ignored. These students found keeping the journals too much work, or boring, or just not worth their time. They are also the students in my room that tend to balk at any writing assignment and are slow to finish their work. They found the responding just one more thing to do.

With this in mind, I feel that the use of reading response journals is not for every student. Adjustments need to be made for those who find it not for them. Some suggestions I gathered from colleagues were to not have them write daily, allow them to draw about what they read, or vary the writing by giving them specific things to write about. One colleague also suggested a form that they just fill in to cut down on the amount of writing the student had to do. This would also give the student direction on what to write. I shall continue to explore this strategy by trying some of these suggestions.

References
Arabsolghar, F., & Elkins, J. (2000). Comparative expectations of teachers and parents with regard to memory skills in children with intellectual disabilities. Journal of Intellectual & Developmental Disability, 25(3), 169-179.
Asselin, M. (2000). Reader response in literature and reading instruction. Teacher Librarian, 27(4), 62-63.
Battle, J., & Labercane, G. (1985). Comparing achievement, ability, with visual memory and visual association. Reading Horizons, 25(2), 87-94.
Cox, B. D. (1994). Children's use of mnemonic strategies: variability in response to metamemory training. The Journal of Genetic Psychology, 155(4), 423-433.
Davis, J. K., & Cochran, K. F. (1989). An information processing view of field dependence-independence. Early Child Development and Care, 43, 129-145.
Fountas, I. C., Pinnell, G. S. (2001). Guiding Readers and Writers Grades 3 - 6. Portsmouth, NH: Heinemann.
Gillam, R. B. (1997). Putting memory to work in language intervention: implications for practitioners. Topics in Language Disorders, 18(1), 72-76.
Hudson, J. A., & Gillam, R. B. (1997). "Oh, I remember now!": facilitating children's long-term memory of events. Topics in Language Disorders, 18(1), 1-10.
Levine, M., M.D. (2002). A Mind At a Time. New York, NY: Simon & Schuster.
Manning, M. (1999). Too many journals. Teaching Pre K-8, 30(2), 89-91.
Moley, B. E., Hart, S. S., Leal, L., Santulli, K. A, Rao, N., Johnson, T., et. al (1992). The teacher's role in facilitating memory and study strategy development in the elementary school classroom. Child Development, 63(3), 653-672.
Perkins, D. (1992). Smart Schools, From Training Memories to Educating Minds. New York, NY:Maxwell MacMillan International.
Reif, L., (2003). A reader's-writer's notebook: it's a good idea. Voices From the Middle, 10(4), 40.
Scruggs, T. E., & Mastropieri, M. A. (1992). Remembering the Forgotten Art of memory. American Educator: The Professional Journal of the American Federation of Teachers, 16(4), 31-37.
Stein, Jess, (Ed). (1982). The Random House College Dictionary (Revised Edition). New York: Random House, Inc.
Turkington, C. And Harris, J. R. Ph.D. (2001). Understanding Memory: The Source Book for Memory and Memory Disorders. New York, NY: Checkmark Books.
Weinert, F. E., & Helmke, A. (1998). The neglected role of individual differences in theoretical models of cognitive development, Learning and Instruction, 8(4), 309-23.
Zimbardo, P. G., Weber, A. L., and Johnson, R. L. (2003). Psychology Core Concepts (4th ed).
Boston, MA: Allyn & Bacon.